Pada trisemester akhir tahun 2014 lalu, Pusat Konservasi Gajah (PKG) Way Kambas dikagetkan oleh adanya kematian 4 ekor anak gajah, satu ekor anak gajah liar yang baru masuk PKG dan 3 (tiga) ekor gajah jinak PKG. Keempatnya berumur dibawah 9 (sembilan) tahun.
Kejadiannya begitu cepat dan tidak terduga sampai hasilnya diketahui bahwa ketiga anak gajah jinak tersebut terserang oleh suatu virus yaitu Elephant Endotheliotropic Herpes Virus (EEHV). Sedangkan anak gajah liar way kambas tersebut hasilnya negative.
Penyakit EEHV pada satwa ini disebabkan oleh virus ganas yang mematikan dan khusus menyerang gajah. Biasanya yang terjangkit adalah anak gajah atau yang berumur dibawah 12 tahun. Penyakit ini tidak bisa atau sangat sulit dideteksi oleh berbagai macam pemeriksaan. Jika sudah menyerang dan daya tahan tubuh gajah sedang lemah akan menyebabkan kematian.
Kesulitan dalam diagnosa penyakit ini ialah virus EEHV sangat sulit dideteksi kecuali ketika virus benar-benar berada pada stadium akut (viremia). Pemeriksaan dari cucian belalai (trunk wash) pernah bisa mendeteksi EEHV dengan metode ELISA tetapi di PKG tidak terdeteksi Herpes virus dengan metoda trunk wash.
EEHV pertama dideteksi pada gajah Afrika tahun 1970 dan kasus pertama pada gajah Asia di kebun binatang Washington Amerika tahun 1995. Di Asia dugaan kasus EEHV terjadi pada tahun 1997 dan terdeteksi pertama kali tahun 2006 di Elephant Sanctuaary Cambodia (EEHV1). Selanjutnya EEHV ditemukan di negara-negara lain seperti Thailand, India, Nepal, Myanmar (Asia), Kanada dan Inggris. Di Indonesia, kasus EEHV ditemukan di Aras Napal pada tahun 2009, di Tangkahan Medan tahun 2011 dan di PKG Way Kambas pada tahun 2014.
Gejala Klinis Virus Elephant Endotheliotropic Herpes Virus
Gejala klinis gajah yang terserang EEHV ialah Lameness, Lemah (lethargy), tidak ada nafsu makan termasuk minum (anorexia), mucosa mata dan mulut pucat, lidah dan ujung belalai cenderung membiru, kadang tampak adanya lesio di mukosa mulut, mata sayu, temperatur turun (dingin), pembuluh darah vena kolep, kepala dan lidah membengkak (edema), Kadang tampak juga adanya pembengkakan di leher maupun rahang. perut membesar, mild colic, belalai begerak tanpa arah, gajah tidak mengikuti perintah (sulit dikendalikan), dan akut (kematian sangat cepat dibawah 3 jam) dan ada pula kematian setelah dilakukan treatment selama 15 jam.
Penanganan dan Terapi pada gajah yang terserang Elephant Endotheliotropic Herpes Virus
Tindakan dan terapi yang dianjurkan untuk kasus ini adalah dengan cairan intra vena (infus) untuk memperbaiki kondisi tubuh agar timbul antibodi yang bisa melawan antigen yang masuk. Sambil melakukan infus, bujuk gajah untuk mau makan (pisang atau makanan lain yang disukainya). Melalui selang infus juga dimasukkan obat untuk mengurangi diarenya(jika ada); obat dan vitamin serta penguat tenaga dan otot. Berikan juga obat anti virusnya untuk melawan virus EEHV yang menyerangnya.
Jika makin lama suhu tubuh menjadi tak menentu, kadang hangat di badan dingin di kepala atau sebaliknya, makin lama suhu makin dingin dan sama sekali tidak mau makan dan minum, untuk meningkatkan suhu tubuhnya, dilakukan pengompresan dengan menggunakan air panas. Selama proses infus juga dilakukan pengecekan suhu tubuh, lidah dan perilakunya. Suhu tubuh akan berubah-ubah terkadang normal, kadang dingin di bagian kepala leher, kadang dingin sekitar ekor dan kaki belakang.
Obat-obatan yang diberikan untuk Virus EEHV yaitu:
• Anti viral : Acyclovir 15 mg/kg bb.
• Anti radang dan pengurang rasa sakit/anti inflamasi dan anti pyretik : Butasyl 10 mg/kg bb.
• Penguat tenaga dan otot : Biosolamin
• Vitamin B12 : Hematopan B12
• Cairan Infus : Aminovel , Lactat Ringer, Glocose 5 – 10 %, NaCl
Selama proses infus juga berusaha dimasukkan air per rektal untuk menambah dan atau mengganti cairan yang banyak keluar waktu terjadi diare (jika gejala disertai diare). Jika gajah menjadi kejang-kejang dan terlihat mulai sesak nafas, tidak ada lagi yang dapat dilakukan, nafasnya akan semakin berat dan mulai mengorok.
Necropsi
Hasil dari nekropsi gajah yang mati di PKG Way Kambas adalah lidah biru (cyanosis ), jantung membesar dan bulat, pembengkakan hati (hepatomegaly), pembengkakan limfa (ukuran masih normal tapi beberapa bagian tepi tumpul), usus kosong dan gembung (bloat) serta ditemukan banyak cairan bening kenuningan (oedema), diseliputi lemak, limfonodus hampir semua bengkak dan radang (lymphoid nodules 3-30 mm), usus hiperemia parah (hemorrhagic dan ulcer) dan mucosa rupture, lambung kosong tidak ada makanan dan seluruh dinding dalam pendarahan (hiperemia).
Dari kasus PKG Way Kambas, gajah yang positif EEHV sangat cepat terjadi kematian walaupun sudah diberikan pertolongan pertama seperti cairan infus, antibiotik, anti radang dan multi vitamin. Semua gajah yang mati mengalami penurunan kondisi tubuh sebelumnya. Ada beberapa dugaan penurunan kondisi ini seperti kurangnya nutrisi, kurangnya kebersihan, dan keberadaan Parasit gastro intestinal dengan ditemukannya larva lalat Bot di lambung dan cacing trematoda (Pharampistomum sp) di lambung dan usus.
Sementara penularan penyakit sangat sulit ditentukan tetapi ada beberapa dugaan cara penularannya seperti kontak langsung antar gajah (belalai, ludah dan cairan tubuh lain), gajah dewasa latent atau carrier, Air (minum dan mandi), Luka, Udara dan Lain-lain. Semua kasus Elephant Endotheliotropic Herpes Virus menyerang gajah sumatera tersebut umumnya usia muda sampai 10 tahun dengan kasus terbanyak pada rentang umur 1-3 tahun.
EEHV dapat mencapai mortalitas (tingkat kematian) 80-90% sejak diketahui gejala klinisnya (Latimer et al, 2011). Pengobatan dengan anti herpes virus (famciclovir) 8 dari 12 kasus selama 1995-2005 di Amerika mengalami kematian, hal ini berarti hanya 5 yang berhasil diobati. Kasus EEHV tidak hanya menyerang gajah di penangkaran tetapi pernah juga terjadi kasus pada gajah liar di Asia. Akan tetapi, EEHV tidak menular ke manusia atau sebaliknya (tidak zoonosis) dan hanya spesifik menyerang gajah.
EEHV di PKG Way Kambas bukan berasal dari gajah liar. Hal ini terbukti gajah yang baru masuk PKG mati hasilnya Negatif EEHV dan satu ekor lagi (Sugeng) masih bertahan hidup dengan hasil pemeriksaan negatif EEHV. Kasus EEHV terdapat di PKG dan menyerang gajah jinak sedangkan gajah liar tidak tertular. Akan tetapi gajah liar berpotensi tertular karena tidak ada barier antara PKG dan habitat alami Gajah.
Dengan melihat perkembangan kasus ini selama tiga tahun, EEHV tampaknya akan menjadi tantangan baru bagi dunia konservasi gajah sumatra di Indonesia. Keterbatasan saat ini adalah metode diagnosa yang akurat, ramah lapangan, dan mudah diakses, serta management pencegahan serta pengobatan yang tepat. Kolaborasi antara semua pihak terkait (lembaga-lembaga di lapangan, otoritas nasional terkait, serta badan dunia terkait) diperlukan untuk melakukan penyelidikan berkelanjutan, mengelola, dan mencegah penyebaran lebih lanjut penyakit menular ini.
Ditulis Oleh Drh. DIAH ESTI ANGGRAINI (PEH Muda) dan Drh. DEDI CANDRA